16 Februari 2010

PEMUDA MENYIKAPI PASAR BEBAS

Oleh: Abdul Aziz Qaelani*

PASAR BEBAS
Sering kita dengar media biasa menggunakan kata-kata: "Rupiah anjlok karena pemerintah tidak mengikuti kemauan pasar atau kehendak pasar". Inilah yang dimaksud sebagai keterikatan terhadap Modal atau keterikatan terhadap Ekonomi Pasar. Arti yang dimaksud dari istilah "pasar" tersebut adalah sistem ekonomi yang kapitalistik. "Pasar Bebas" artinya kebebasan bergerak dari ekonomi modal (dan para pemilik modal) sebebas-bebasnya. Pasar bebas adalah mesin utama dari Globalisasi yang saat ini sedang naik daun. Dan untuk memahami Pasar Bebas ini, maka kita perlu memahami Neo-Liberalisme (liberalisme baru). Inilah ideologi mutakhir kapitalisme yang saat ini sedang jaya-jayanya, terutama slogan TINA (There is No Alternatives) dari mulut Margaret Thatcher salah seorang pengikut Hayek. Semenjak 1970-an hingga kini, Neo-Liberalisme mulai menanjak naik menjadi kebijakan dan praktek negara-negara kapitalis maju, dan didukung oleh pilar-pilar badan dunia: Bank Dunia, IMF dan WTO.

NEO-LIBERALISME
Dengan memahami Neo-Liberal, maka kita dapat memahami berbagai sepak terjang badan-badan multilateral dunia; kita dapat memahami perubahan kebijakan domestik di negara-negara maju; kita dapat memahami mengapa terjadi krisis moneter dan ekonomi yang tidak berkesudahan; kita dapat memahami mengapa Indonesia didikte dan ditekan terus oleh IMF; kita dapat memahami mengapa Rupiah tidak pernah stabil; kita dapat memahami mengapa BUMN didorong untuk di-privatisasi; kita dapat memahami mengapa listrik, air, BBM, dan pajak naik; kita dapat memahami mengapa impor beras dan bahan pangan lain masuk deras ke Indonesia; kita dapat memahami mengapa ada BPPN, Paris Club, Debt Rescheduling dan lain-lain; dan banyak lagi soal-soal yang
membingungkan dan memperdayai publik.

Program Neo-Liberal yang terkenal dan dipraktekkan dimana-mana adalah SAP (Structural Adjustment Program) yaitu Program penyesuaian struktural yang merupakan program utama dari Bank Dunia dan IMF, termasuk juga yang dilaksanakan WTO namun dengan nama yang berbeda. WTO memakai istilah-istilah seperti fast-track, progressive liberalization, harmonization dan lain-lain, yang Intinya tetap sama. Dengan nama yang sopan "penyesuaian struktural", namun yang sebenarnya dimaksud adalah "penghancuran dan pendobrakan radikal" terhadap struktur dan sistem lama yang tidak bersesuaian dengan mekanisme pasar bebas murni.

Jadi Pasar Bebas adalah intinya (mesin penggeraknya), Neo-Liberal adalah ideologinya, dan SAP adalah praktek atau implementasinya. Sementara tujuannya adalah ekspansi sistem kapitalisme global.

PASAR BEBAS VERSI NEO-LIBERALISME
Sejarah Neo-Liberal bisa dirunut jauh ke masa-masa tahun 1930-an. Adalah Friedrich von Hayek
(1899-1992) yang bisa disebut sebagai Bapak Neo-Liberal. Hayek terkenal juga dengan julukan
ekonom ultra-liberal. Muridnya yang utama adalah Milton Friedman, pencetus monetarisme.
Pandangan Neo-Liberal dapat diamati dari pikiran Hayek. Bukunya yang terkenal adalah
"The Road to Serfdom" (Jalan ke Perbudakan)
Buku tersebut kemudian menjadi kitab suci kaum kanan dan diterbitkan di Reader’s Digest di tahun 1945. Neo-liberal menginginkan suatu sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme abad-19, di mana kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan sesedikit mungkin dari pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah. Mekanisme pasar akan diatur oleh persepsi individu, dan pengetahuan para individu akan dapat memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi, sehingga mekanisme pasar dapat menjadi alat juga untuk memecahkan masalah sosial. Menurut mereka, pengetahuan para individu untuk memecahkan persoalan masyarakat tidak perlu disalurkan melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan. Dalam arti ini maka Neo-liberal juga tidak percaya pada Serikat Buruh atau organisasi masyarakat lainnya.
Dengan demikian Neo-liberal secara politik terus terang membela politik otoriter.
Demokrasi politik, menurut neo-Liberal, dengan demikian adalah sistem politik yang menjamin terlaksananya kebebasan individu dalam melakukan pilihan dalam transaksi pasar, bukan sistem politik yang menjamin aspirasi yang pluralistik serta partisipasi luas anggota masyarakat. Bahkan salah seorang pentolan neo-Liberal, William Niskanen, menyatakan bahwa suatu pemerintah yang terlampau banyak mengutamakan kepentingan rakyat banyak adalah pemerintah yang tidak di nginkan dan tidak akan stabil. Bila terjadi konflik antara demokrasi dengan pengembangan usaha yang kapitalistis, maka mereka memilih untuk mengorbankan demokrasi.
Salah satu benteng neo-liberal adalah Universitas Chicago, di mana Hayek mengajar di situ antara
tahun 1950 sampai 1961, dan Friedman menghabiskan seluruh karir akademisnya. Karena itu
mereka juga terkenal sebagai "Chicago School". Buku Friedman adalah "The Counter Revolution in Monetary Theory", yang menurutnya telah dapat menyingkap hukum moneter yang telah diamatinya dalam berabad-abad dan dapat dibandingkan dengan hukum ilmu alam. Friedman percaya pada freedom of choice (kebebasan memilih) individual yang ekstrim. Dengan demikian, neo-Liberal tidak mempersoalkan adanya ketimpangan distribusi pendapatan di dalam masyarakat. Pertumbuhan konglomerasi dan bentuk-bentuk unit usaha besar lainnya semata-mata dianggap sebagai manifestasi dari kegiatan individu atas dasar kebebasan memilih dan persaingan bebas. Efek sosial yang ditimbulkan oleh kekuasaan ekonomi pada segelintir kelompok kuat tidak dipersoalkan oleh neo-Liberal. Karenanya demokrasi ekonomi tidak ada di dalam agenda kaum neo-Liberal.
Sejak tahun 1970-an, neo-Liberal mulai berkibar. Sejak itu pulalah seluruh paradigma ekonomi secara perlahan masuk ke dalam cara berpikir neo-Liberal, termasuk ke dalam badan-badan multilateral, Bank Dunia, IMF dan GATT (kemudian menjadi WTO). Doktrin pokok dari Thatcher adalah paham kompetisi – kompetisi di antara negara, di antara wilayah, di antara perusahaan-perusahaan, dan tentunya di antara individu.
Kompetisi adalah keutamaan, dan karena itu hasilnya tidak mungkin jelek. Karena itu kompetisi dalam pasar bebas pasti baik dan bijaksana. Kata thatcher suatu kali, “Adalah tugas kita untuk terus mempercayai ketidakmerataan, dan melihat bahwa bakat dan kemampuan diberikan jalan
keluar dan ekspresi bagi kemanfaatan kita bersama”. Artinya, tidak perlu khawatir ada yang tertinggal dalam persaingan kompetitif, karena ketidaksamaan adalah sesuatu yang alamiah. Akan tetapi ini baik karena berarti yang terhebat, terpandai, terkuat yang akan memberi manfaat pada semua orang.

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PASAR BEBAS, NEO-LIBERALISME
Sejak 1980-an pula, bersamaan dengan krisis hutang Dunia Ketiga, maka paham neo-Liberal menjadi paham kebijakan badan-badan dunia multilateral Bank Dunia, IMF dan WTO. Tiga poin dasar neo-Liberal dalam multilateral ini adalah: pasar bebas dalam barang dan jasa; perputaran modal yang bebas; dan kebebasan investasi. Sejak itu Kredo (paham) neo-Liberal telah memenuhi pola pikir para ekonom di negara-negara tersebut. Kini para ekonom selalu memakai pikiran yang standard dari neo-Liberal, yaitu deregulasi, liberalisasi, privatisasi dan segala jampi-jampi lainnya. Kaum mafia Berkeley UI yang dulu neo-klasik, kini juga berpindah paham menjadi neo-liberal. Poin-poin pokok neo-Liberal dapat disarikan sebagai berikut:
1. ATURAN PASAR. Membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap keterikatan yang dipaksakan pemerintah. Keterbukaan sebesar-besarnya atas perdagangan internasional dan investasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan serikat buruh dan penghapusan hak-hak buruh. Tidak ada lagi kontrol harga. Sepenuhnya kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa.
2. MEMOTONG PENGELUARAN PUBLIK DALAM HAL PELAYANAN SOSIAL. Ini seperti
terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk ‘jaring pengaman’
untuk orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti
jalan, jembatan, air bersih – ini juga guna mengurangi peran pemerintah. Di lain pihak mereka
tidak menentang adanya subsidi dan manfaat pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis.
3. DEREGULASI. Mengurangi paraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangi
keuntungan pengusaha.
4. PRIVATISASI. Menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor swasta.
Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit,
bahkan juga air minum. Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih besar, yang nyatanya
berakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam sedikit orang dan membuat publik membayar
lebih banyak.
5. MENGHAPUS KONSEP BARANG-BARANG PUBLIK (PUBLIC GOODS) ATAU KOMUNITAS.
Menggantinya dengan “tanggungjawab individual”, yaitu menekankan rakyat miskin untuk mencari sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan kesehatan, pendidikan, jaminan
sosial dan lain-lain; dan menyalahkan mereka atas kemalasannya.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan program di Bank Dunia dan IMF ini, maka program neo-Liberal, mengambil bentuk sebagai berikut:
1. Paket kebijakan Structural Adjustment (Penyesuaian Struktural), terdiri dari komponen-
komponen: (a) Liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang bebas; (b) Devaluasi; (c)
Kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembatasan kredit, peningkatan suku bunga
kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga public utilities, dan penekanan untuk tidak menaikkan upah dan gaji.
2. Paket kebijakan deregulasi, yaitu: (a) intervensi pemerintah harus dihilangkan atau
diminimumkan karena dianggap telah mendistorsi pasar; (b) privatisasi yang seluas-luasnya
dalam ekonomi sehingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai negara; (c)
liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk penghapusan segala jenis proteksi; (d)
memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang
lebih luas dan longgar.
3. Paket kebijakan yang direkomendasikan kepada beberapa negara Asia dalam menghadapi
krisis ekonomi akibat anjloknya nilai tukar mata uang terhadap dol ar AS, yang merupakan
gabungan dua paket di atas ditambah tuntutan-tuntutan spesifik disana-sini.
PASAR BEBAS, NEO-LIBERALISME di INDONESIA
Di Indonesia, paham neo-liberal mulai terasa pengaruhnya di tahun 1980-an, ketika pemerintah
mulai menerapkan kebijakan liberalisasi keuangan dan ekonomi, yang berujud dalam berbagai
paket deregulasi semenjak tahun 1983. Paralel dengan masa itu adalah terjadinya krisis hutang
dunia Ketiga di tahun 1982, ketika Mexico default (menyatakan tidak mampu membayar
hutangnya). Setelah itu Bank Dunia dan IMF masuk ke dalam perekonomian negara-negara yang
terkena krisis hutang lewat perangkat SAP. Saat itu terutama di negara-negara Amerika Latin dan
Afrika. Indonesia belumlah terkena krisis, dan karenanya jauh dari hiruk-pikuk SAP. Akan tetapi
sejak itu jelas pola pembangunan Indonesia mulai mengadopsi kebijakan neo-liberal, khususnya
karena keterikatan Indonesia kepada IGGI, Bank Dunia dan IMF.
Berbagai kebijakan deregulasi perbankan dan keuangan di awal tahun 1980-an adalah awal dari
liberalisme ekonomi dan dominasi paham neo-liberal di antara para ekonom. Sejak itu berbagai
kebijakan, peraturan, dan tindakan pemerintah adalah untuk melayani kepentingan korporasi, yang
pada masa itu adalah para konglomerat Orde Baru, keluarga Suharto dan TNC/MNC (pemodal asing) yang digandengnya.
Globalisasi melestarikan kompradorisme (kaki tangan dan kepanjangan tangan kapitalisme
internasional), tetapi sekaligus juga hendak menancapkan kukunya lebih dalam lagi guna
menguasai secara total perekonomian nasional suatu negara. Pada intinya adalah
menghancurkan kedaulatan nasional. Kaum komprador yang terlalu berkuasa secara nasional
juga tidak mereka sukai, seperti kerajaan bisnis Suharto serta kroni-kroni konglomeratnya, karena
seringkali mampu menghalang-halangi kepentingan kapital global untuk kepentingan mereka
sendiri yang mengganggu mekanisme pasar. Yang mereka inginkan sekarang adalah dominasi
sepenuhnya, mekanisme pasar sepenuhnya, dan kontrol hukum sepenuhnya.
Kita bisa mencatat banyak kejadian kasus globalisasi yang kemudiannya telah menghancurkan
dan mengorbankan Indonesia, baik dari segi kedaulatan nasional, kedaulatan hukum, dan korban
berjuta-juta rakyat Indonesia memasuki masa depan yang gelap. Krisis yang terus berlanjut hingga
kini adalah gambaran bahwa Indonesia merupakan korban terparah globalisasi. Ini yang tidak mau
diakui oleh IMF, Bank Dunia dan para ekonom neo-liberal, yang selalu menyalahkannya kepada
pemerintah dan negara bersangkutan, baik dari segi KKN, korupsi, bad-governance dan lainnya
sistem Pasar Bebas yang kapitalistik memanfaatkan KKN untuk keuntungan
pemodal asing (TNC/MNC) dari negara-negara maju. Contoh paling jelas adalah Freeport di
Papua dan Exxon di Aceh. Sistem pasar bebas dan globalisasi ini mengekalkan hubungan neo-
kolonialisme-imperialisme, sehingga Indonesia sukar sekali keluar dari ketergantungannya pada
negara-negara maju dan badan-badan dunia tersebut.

MALAPETAKA NASIONAL
1. Perampokan besar-besaran Bank Sentral
2. Tambal sulam kemiskinan lewat utang
3. Penghancuran ketahanan pangan
4. Penciptaan pasar tanah
5. Penguasaan air minum
6. Mafia Utang lewat Kredit Ekspor
7. Penjarahan kekayaan intelektual masyarakat/komunitas

PERAN PEMUDA
?????



*) salah seorang PW PII NTB

1 komentar: